Senin, 12 Mei 2003

Mengenal Tari Topeng Malang

A. Pengertian Topeng Malang

Menurut KBBI, tari adalah gerakan badan yang berirama, biasanya diiringi bunyi-bunyian. Kemudian, pengertian topeng adalah penutup muka yang menyerupai muka orang, binatang, dan sebagainya.

Dalam “Tari Topeng Malang” dapat diartikan sebagai gerakan badan yang berirama dengan diiringi bunyi-bunyian dengan menggunakan penutup muka yang menyerupai muka orang yang berasal dari Kabupaten Malang.

B. Lokasi Penelitian Keberadaan Topeng Malang

image

Gambar Sanggar Tari Asmoro Bangun di Desa Kedungmonggo, Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur dengan Beberapa Penari

Kedungmonggo sebagai sebuah dusun di kaki gunung Kawi merupakan salah satu kantong persebaran seni budaya tari topeng Malang. Keberadaan kesenian tari topeng di dusun ini sekarang masih terbilang cukup terkenal jika dibandingkan dengan komunitas lain yang juga berada di wilayah gunung Kawi dan wilayah kabupaten Malang lainnya, yang letaknya lebih ke arah atas gunung Kawi. Hal ini didukung oleh letak geografis kawasan Kedungmonggo yang relatif mudah dijangkau oleh konsumen kesenian tari topeng karena jaraknya dari jalan raya Malang-Kepanjen hanya berkisar 500 meter ke arah barat. Tak ayal, kondisi ini membantu mempermudah proses sosialisasi hasil kesenian khas Malang ini kepada masyarakat umum, khususnya kepada penduduk Malang Raya.

Kondisi di atas secara eksternal juga didukung dengan polesan konstruksi budaya Hindu-Jawa di lokasi sekitar dusun Kedungmonggo mengingat akar sejarah kemunculan tari topeng adalah hasil ritual kebudayaan Hindu. Dukungan kultural ini bisa dirasakan karena di kawasan desa Karangpandan, induk dari dusun Kedungmonggo juga masih bisa ditemui pemeluk agama Hindu meskipun mayoritas penduduk sudah memeluk agama Islam. Polesan budaya tersebut bisa dilihat dari adanya bangunan pura yang saat ini jarang ditemui di wilayah Malang, yang berjarak tak lebih dari 300 meter dari pusat dusun Kedungmonggo. Selain itu di samping pura terdapat pula sekolah keagamaan hindu yang peserta didiknya adalah masyarakat sekitar Pakisaji.

C. Sejarah Singkat Tari Topeng di Indonesia

Seni tari topeng merupakan kesenian khas Indonesia yang sudah ada semenjak zaman nenek moyang. Hampir semua daerah di Indonesia memiliki sejarah tentang pertunjukan menggunakan topeng. Di Jawa pertunjukan seni tari topeng telah dikenal semenjak tahun 762 Saka (840 M). Hal ini dijelaskan dalam prasasti Jaha dan di kala itu topeng dijadikan sebagai sarana utama ritual pemujaan dan pertunjukan yang dikenal dengan istilah Atapukan. Istilah lain yang juga sering digunakan yaitu istilah Raket, Manapel dan Popok. Dari beberapa istilah tersebut semuanya menjurus pada satu arti yaitu berarti penutup wajah yang pada saat ini juga bisa disamakan dengan arti kata ”Topeng.”

Dalam literatur lain disebutkan bahwa keberadaan topeng telah dikenal semenjak zaman kerajaan tertua di Jatim yaitu kerajaan Gajayana (760 Masehi) yang berlokasi di sekitar kota Malang. Tepatnya, kesenian ini telah muncul sejak zaman Mpu Sendok. Saat itu, topeng pertama terbuat dari emas, dikenal dengan istilah Puspo Sariro (bunga dari hati yang paling dalam) dan merupakan simbol pemujaan Raja Gajayana terhadap arwah ayahandanya, Dewa Sima .

Berbarengan dengan munculnya kesenian tari topeng yang telah diceritakan muncul pula kesenian bercerita yang dilakukan oleh para dukun (Samman) yang isi dari cerita itu merupakan kisah tentang sejarah perilaku nenek moyang suatu komunitas tertentu. Kesenian ini dinamakan Ringgit atau Aringgit. Adapun peran pencerita pada zaman sekarang lebih sering dilakukan oleh dalang. Proses penceritaan kisah tersebut menjadi sebuah wujud penghormatan bagi nenek moyang yang bersifat animistik dan sarana pemanggilan ruh. Hidayat menyebutkan :

Tari atau drama topeng dianggap sebagai sarana untuk pemanggilan roh – roh nenek moyang atau roh-roh baik untuk masuk merasuk ke dalam tubuh para penari. Sehingga para pelaku tidak lagi memainkan diri tetapi beralih sebagai wadah (tempat) hadirnya roh nenek moyang. Mereka datang untuk memberikan perbuatan baik atau menerima penghormatan (puja bakti).

Fenomena ini merupakan ciri khas yang dimiliki oleh masyarakat Jawa primitif pra Hindu di wilayah Jawa.

Jika dilihat dari kacamata psikologi sosial, dari data ini bisa disinyalir bahwa peran seorang samman (dukun, dalang) sebagai seorang pencerita memiliki andil yang cukup besar dalam proses internalisasi pemahaman aspek religius-kultural pada penonton selama pertunjukan berlangsung

clip_image002

Gambar Kitab Negarakertagama

Dalam beberapa literatur banyak diceritakan tentang cara penyajian pertunjukan tari tersebut. Salah satunya dalam kitab Negarakertagama. Di dalam kitab tersebut diceritakan tentang kronologi upacara Sraddha yang dilaksanakan oleh prabu Hayam Wuruk untuk menghormati roh Shri Rajapatni, neneknya. Di dalam upacara tersebut prabu Hayam Wuruk mengenakan topeng yang dinamakan Sang Hyang Puspasharira dan memperagakan tarian pemujaan agama yang dianutnya.

Sejalan dengan alur perkembangan zaman seni tari topeng dikenal tak hanya sebagai sarana pemujaan ruh tetapi dikenal juga sebagai sebuah bentuk kesenian hiburan masyarakat elit kerajaan yang bersifat eksklusif dan menjadi simbol ketinggian derajat sosial (keningratan) yang dimiliki seseorang. Kesenian ini kemudian terus berkembang pesat saat zaman kerajaan Majapahit.

Keterputusan sejarah tari topeng terjadi semenjak runtuhnya kerajaan Majapahit oleh invasi kerajaan Demak ke Jawa Timur. Peralihan kekuasaan dari kerajaan Hindu-Jawa menjadi kekuasaan kerajaan Islam membawa perubahan yang cukup signifikan di setiap lini budaya masyarakat, utamanya semangat keagamaan. Hal ini otomatis mengakibatkan seni tari topeng yang merupakan buah karya budaya Hindu-Jawa perlahan luntur dan kemudian hilang karena kerajaan-kerajaan yang menjadi kantong budaya kesenian ini mengubah haluan kultur-religiusnya menjadi kerajaan yang memeluk agama Islam. Namun di balik keruntuhan kerajaan dalam fungsinya sebagai pusat pengembangan hasil kebudayaan, terjadi perubahan fakta sejarah yang menunjukkan bahwa persebaran kesenian yang ada tak lagi dijalankan di dalam kerajaan, karena banyak dari keluarga kerajaan yang menyebarkan hasil budaya ini kepada masyarakat umum yang mana masih memeluk agama Hindu-Jawa di wilayah pelosok tanah Jawa. Fakta ini bisa ditemukan bahwa kesenian tari topeng banyak ditemukan di wilayah yang sulit dijangkau oleh kekuasaan pemerintah.

Seiring berjalannya waktu dan ketertatihan eksistensi budaya tradisional, kesenian ini perlahan-lahan hilang dan berangsur-angsur tergusur oleh arus budaya modern. Hal ini salah satunya dikarenakan kurangnya sumber sejarah yang mencatat sepak terjang kesenian ini secara pasti, sampai pada akhirnya dilakukan pencatatan sejarah oleh Dr. Th. Pigeaud pada tahun 1930an yang menyebutkan bahwa kesenian ini merupakan salah satu pertunjukan tradisional populer khas Jawa yang berada di wilayah Malang.

D. Tari Topeng di Wilayah Malang

clip_image004

Gambar Alun-alun Tugu dan Balai Kota Malang

Malang adalah salah satu kota di Propinsi Jawa Timur yang terkenal karena kesejukan udaranya. Kota dan kabupaten dikelilingi oleh empat buah gunung, yaitu gunung Arjuna di sebelah utara, Gunung Tengger di sebelah Timur, Gunung Kawi di sebelah Barat, dan Gunung Kelud di sebelah selatan. Karena dikelilingi oleh beberapa gunung inilah maka kota Malang mempunyai tingkat kesejukan yang baik.

Sebagai kota yang begitu potensial sebagai tempat wisata dan budaya Malang memiliki kawasan yang sangat layak huni dan menjadi daerah yang elit sehingga wajar kiranya jika pada masa penjajahan Belanda Malang dijadikan kawasan strategis tempat tinggal ekspatriat Belanda di masanya. Penjelasan sejarah Malang sebagai jajahan Belanda sangat berpengaruh kelak terhadap proses tumbuh kembang kebudayaan lokal di wilayah Malang, seperti halnya pelaksanaan acara-acara wisata sejarah Malang yang tidak pernah meninggalkan kawasan jalan Kawi yang sampai saat ini dihuni oleh anak keturunan para penjajah Belanda.

Salah satu pusat persebaran seni tari topeng di tanah Jawa adalah di wilayah Malang, di mana dahulu terdapat kerajaan yang bernama kerajaan Singosari. Murgiyanto dan Munardi dalam penelitiannya menyebutkan bahwa awal mula dikenalnya tari topeng di wilayah Malang terjadi pada abad ke-13 Masehi, yaitu pada periode pemerintahan raja Kertanegara . Sejak saat itulah seni tari topeng yang berada di daerah Malang dinamakan sebagai tari Topeng Malang.

Adapun bukti mengenai keberadaan tari topeng di masa kerajaan Singosari adalah adanya relief di beberapa candi peninggalan kerajaan Singosari yang dalam relief tersebut digambarkan suasana di dalam lokasi kerajaan yang di dalamnya dimainkan tarian bertopeng. Dalam relief tersebut para penari topeng memakai atribut endhong (sayap belakang), rapek (hiasan setengah lingkaran di depan celana, lazim juga disebut pedangan), bara-bara dan irah-irahan (mahkota) yang bentuknya sama dengan kostum tari topeng di masa sekarang.

Malang sebagai bagian dari kota sejarah kerajaan Jawa (Singosari) dahulu banyak memiliki komunitas tari topeng di tiap-tiap daerah. Semasa penjajahan Belanda beberapa komunitas tersebut muncul kembali setelah sekian lama jejak kesejarahan mereka tidak tercatat oleh pewarta hasil budaya. Tak kurang dari 11 komunitas dahulu pernah meramaikan budaya kesenian tradisional Malang. Namun seperti yang telah disebutkan di atas bahwa perguliran sejarah dari kebudayaan Hindu-Jawa menjadi kebudayaan Islam menjadi salah satu sebab kemunduran eksistensi kesenian ini di tanah Jawa, tak terkecuali di wilayah Malang.

Sampai saat ini, di wilayah Malang Raya komunitas tari topeng hanya bisa ditemui sedikitnya 4 komunitas yang aktif berkesenian. Itupun berada di wilayah-wilayah pelosok. Namun dari data wawancara dengan beberapa akademisi yang dikumpulkan ada kesatuan paham yang menjurus pada kesimpulan bahwasanya daerah tempat komunitas tari ini berada dahulu merupakan daerah yang banyak dihuni oleh pemeluk agama Hindu-Jawa. Bahkan sebagian dari daerah tersebut masih didominasi oleh masyarakat Hindu-Jawa yaitu di wilayah Tengger Ngadas Malang.

Menurut catatan Murgiyanto, komunitas tari topeng modern yang tertua adalah di wilayah Tumpang. Kemunculan komunitas ini diawali oleh pengembangan kesenian tari topeng di wilayah kecamatan Tumpang pada pertengahan abad 19-an oleh Mbah Rusman yang terkenal dengan nama Kik Tirto. Nama ini merujuk pada nama Tirtowinoto, dan arti kata “Kik” adalah bapak sehingga nama Kik Tirto berarti bapak dari Tirto . Sekarang di wilayah Tumpang hanya ditemui paguyuban seni tari Mangun Dharmo pimpinan Karen Elizabeth di desa Tulus Besar dan Sri Margo Utomo di desa Glagah Dowo pimpinan Rasimoen.

Versi lain menyebutkan bahwa tari topeng yang terhitung tua dan masih terkenal di wilayah kabupaten Malang adalah di dusun Kedungmonggo, tempat penelitian ini berlangsung. Menurut penuturan Handoyo :

“Tari topeng di wilayah Malang yang sampai sekarang masih aktif dan eksis ya di sini ini mas (Kedungmonggo). Komunitas lainnya meskipun masih ada tetapi sudah jarang tampil di depan umum. Kadang kalau ada pertunjukan dari komunitas lain, sebagian penarinya juga diambil dari sini.”

Masih menurut Handoyo, sejarah munculnya tari topeng di Kedungmonggo itu sejak zaman penjajahan Belanda. Sayangnya ketepatan waktu tahun munculnya belum bisa dipastikan. Namun menurutnya munculnya di lokasi penelitian adalah waktu kabupaten Malang dipimpin oleh bupati Malang yang bernama Raden Sjarip bergelar Adipati Suryo Adiningrat pada tahun 1890an.

Orang yang dulu mengajarkan tari topeng pertama kali di dusun Kedungmonggo adalah Ki Serun setelah sebelumnya belajar dari Gurawan, seorang guru tari topeng yang berasal dari gunung Kawi. Ki Serun memberikan pendidikan tari pada beberapa masyarakat di sekitar dusun sehingga pada akhirnya muncullah bibit-bibit penari topeng yang mengawali proses pembentukan komunitas tari topeng di dusun Kedungmonggo.

Setelah Ki Serun lanjut usia kepemimpinan komunitas tersebut dipegang oleh pak Kiman, yang tak lain adalah putranya sendiri. Pak Kiman memiliki bakat dan kemampuan untuk menari dan memahat topeng. Namun kala itu keberadaan tari topeng Malang mengalami dinamika yang cukup mengenaskan. Beberapa pengikut komunitas ini tidak mampu mengembangkan tari topeng seperti sebelumnya karena terbelit berbagai masalah. Di sisi lain, keberadaan tari topeng tidak mampu menunjang kehidupan ekonomi para anggotanya.

Selanjutnya setelah meninggalnya pak Kiman sejarah komunitas tari topeng yang tertatih-tatih dalam menjalani roda zaman dialih-tangankan pada sosok Karimun kecil yang dia adalah anak Kiman, cucu dari Kik Serun. Karimun memiliki bakat tari dan memahat serta panjak sehingga di tengah komunitas ini eksistensinya bisa diselamatkan dari persaingan jagat hiburan kala itu. Sampai pada tahun 1970an dinamika perkembangan tari topeng Malang mengalami kemunduran yang signifikan. Namun berkat kesabaran dan kegigihan seorang Karimun pada tahun 1980an tari topeng Malang berangsur-angsur mulai dikenal masyarakat Malang secara luas dan menjadi ikon kebanggaan kota Malang berkat kerja sama pemerintah dan masyarakat sekitar Malang dalam menyosialisasikan tari topeng Malang. Terbukti bahwa lokasi Kedungmonggo sampai sekarang banyak dikenal oleh masyarakat seantero Malang dan sering dijadikan rujukan dalam penelitian mengenai seni kebudayaan lokal utamanya seni tari dan seni pahat.

E. Proses Pertunjukan

Waktu menunjukkan jam 19.30 WIB. Dari jarak kurang lebih 200 meter lamat-lamat terdengar suara alunan musik khas Jawa yang cukup menarik perhatian. Gending Giro, begitu kesenian musik itu sering disebut. Peneliti berjalan menuju arah musik tersebut dimainkan setelah bertanya pada orang di sekitar jalan Prajurit Slamet tentang tempat pertunjukan tari topeng Malang digelar. Setelah semakin jelas terdengar, peneliti sampai di lokasi penelitian. Kurang lebih 80an orang telah berjubel dalam suatu sanggar untuk menyaksikan eksotisme tari topeng yang namanya begitu tersohor di seantero Malang.

Di pusat dusun Kedungmonggo pada setiap malam Senin Legi terdapat suatu pertunjukan tari topeng Malang yang dilakukan oleh komunitas seniman tari topeng semenjak awal tahun 1900-an di masa Ki Serun. Para anggota komunitas tersebut adalah murid dari mbah Karimun, sesepuh kesenian tari topeng khas Malang yang pernah mendapat penghargaan langsung dari bekas presiden Soeharto sebagai seniman pelestari kesenian tradisional.

Di lokasi pertunjukan tepatnya di sanggar Asmoro Bangun telah datang lebih dari 100 orang. Sanggar yang berukuran kurang lebih 10 x 15 meter ini dipenuhi oleh penonton yang datang tak hanya dari lingkungan dusun Kedungmonggo saja, akan tetapi banyak juga yang dari luar kota. Mereka datang hanya untuk satu tujuan yaitu untuk melihat pertunjukan Tari Topeng Malang.

Setting lingkungan artistik yang bisa dilihat terkesan memiliki nuansa tradisional khas Hindu-Jawa. Sewaktu pertama kali memasuki kawasan lokasi penelitian nuansa ke-Hinduan yang ada terasa sangat kental. Adanya 2 patung Totok Kerot atau Dwarapala sebagai lambang dewa penjaga pintu masuk memperkuat nuansa ini. Tak jauh dari patung tersebut di dalam sanggar tempat pertunjukan akan dilangsungkan dan tempat latihan tari topeng, dari arah depan jelas terlihat ukiran patung Leak yang menjadi ciri khas atribut masyarakat Hindu. Tak hanya itu, sewaktu berjalan menuju lokasi sanggar di sebagian rumah di desa Karangpandan banyak ditemui arsitektur rumah penduduk desa yang memiliki gapura mirip bangunan pura dan memiliki ukiran khas Jawa kuno. Hal ini menjadi salah satu simbol bahwa seni tari topeng Malang sampai saat ini masih menunjukkan eksitensinya sebagai sebuah karya hasil budaya Hindu Jawa.

Sepanjang sejarah perkembangan tari topeng Malang dalam proses penampilannya tetap konsisten dalam menggunakan bahasa Jawa kuno (Kawi) karena kesenian ini merupakan tradisional yang memiliki suatu pakem yang harus dilakukan agar tetap bisa menjaga keaslian nilai pertunjukan.

F. Ruang Penyajian Tari Topeng

Dalam setting penyajiannya tari topeng Malang sering kali dilakukan indoor dan diposisikan dalam panggung. Di Kedungmonggo panggung yang dipakai adalah sanggar Asmoro Bangun yang memiliki panggung datar di mana posisi penonton duduk sejajar di depan penari. Antara penari dengan penonton tidak dibatasi jarak apapun, sehingga antara tempat duduk dengan panggung gerak penari tidak jelas batasnya dan hanya menurut perkiraan kru (penata ruang) pertunjukan saja.

Kesamaran jarak ini memiliki pengaruh terhadap kenyamanan penonton dalam menikmati proses pertunjukan di mana kerapkali sebagian dari kru pementasan atau penonton menegur penonton lain yang duduk terlalu menjorok ke arah panggung gerak tari. Dampaknya, konsentrasi penonton yang telah terbangun mulai awal pertunjukan juga terusik dengan teguran tersebut.

Dari aspek pencahayaan (lighting) terdapat beberapa lampu sorot yang cahayanya difokuskan untuk jatuh ke arah penari. Lampu sorot tersebut diletakkan menggantung di atas tempat duduk penonton, terkadang juga agak maju. Lampu samping sanggar semuanya dimatikan sehingga cahaya lampu sama sekali tidak mengenai penonton secara langsung. Kalaupun ada penerangan itupun hanya pantulan dari cahaya lampu sorot yang jatuh di tembok belakang panggung. Komposisi artistik lampu, yang dipasang biasanya berwarna kuning cerah dan hanya cukup dibilang terang saja. Hal ini karena komunitas ini belum memiliki properti yang memadai utamanya jika dibandingkan dengan standar seni pertunjukan modern.

Pada bagian depan panggung terdapat kain geber yang dominan berwarna merah berukuran 3 x 10 meter yang menutup tembok depan dan digantungkan pada tiang di sisi kanan dan kiri panggung. Kadangkala kain geber yang dipakai hanya berukuran 2 x 3meter saja yang diikatkan pada tiang penyangga, tepat di tengah panggung. Di bagian tengah kain geber tersebut terdapat celah yang bisa dibuka dan ditutup yang dijadikan pintu keluar masuk pemain dari ruang rias di belakang panggung menuju panggung pertunjukan. Menurut Handoyo, proses keluarnya penari dari pintu kain merah tersebut diibaratkan sebagai proses kelahiran bayi yang keluar dari rahim ibunya pertanda dimulainya suatu kehidupan. Hal ini sesuai dengan maksudnya yaitu dimulainya suatu adegan dalam suatu lakon cerita. Terkadang di sisi kiri kanan panggung terdapat pula hiasan berupa bunga-bungaan untuk mempercantik area panggung.

Para panjak dan sinden yang bertugas mengiringi proses penampilan berada di sisi kiri depan panggung. Penempatan panjak di samping ini yaitu untuk mempermudah komunikasi antara penari dengan dalang. Para panjak duduk dengan memegang alat-alat musik tradisional masing-masing yang dikuasainya. Terdapat gong, kendang, bonang, dan alat-alat musik tradisional lainnya. Semua dimainkan sesuai instruksi dalang. Bagi sinden dan panjak masa sekarang ditekankan untuk bisa menyanyikan berbagai macam lirik lagu utamanya lagu Jawa modern (campursari). Hal ini salah satunya untuk mengantisipasi permintaan tokoh Potrojoyo yang permintaannya kadang kala cenderung yang aneh-aneh sesuai dengan karakter yang dimilikinya. Dan untuk mendukung kejelasan suara ketika terjadi dialog antar tokoh, iringan gending dan nyanyian sinden digunakan alat bantu speaker dan sound system.

Setting pertunjukan yang ada pada akhir-akhir ini sangat berbeda dengan setting pertunjukan pada era 1980an. Dahulu alat penerangan yang dipakai adalah lampu petromaks yang digantungkan pada tiang yang terbuat dari bambu dan diletakkan di sisi kanan kiri panggung. Panggung yang dipakai berupa panggung bertingkat yang menempatkan penari berada di atas dan para penonton menontonnya dengan posisi duduk dengan kursi atau berdiri di sisi panggung. Panggung pertunjukan dibangun di tengah tanah lapang sehingga penonton yang berdiri bisa memutari panggung pentas. Namun ada juga bentuk pertunjukan yang tetap dipertahankan seperti seting masa lalu adalah waktu pelaksanaan ritual bersih desa yang pelaksanaan tari tersebut dilakukan di tanah lapang dekat punden Belik Kurung yang biasa dijadikan para leluhur penduduk Kedungmonggo meletakkan sesajen. Dahulu juga belum ada sound system yang mendukung sehingga hal ini sulit bagi dalang dan sinden untuk menyampaikan dan melantunkan nyanyian pendukung proses penyampaian isi cerita.

Namun seiring perkembangan jaman, kesenian ini juga mengalami suatu perubahan yang bisa dikatakan dipengaruhi oleh kondisi penonton di tiap jamannya . Perubahan tersebut antara lain :

1. Dahulu sebelum tahun 70-an pertunjukan tari topeng umumnya dilakukan mulai waktu setelah isya sampai pagi (20.00-04.00 WIB) namun sekarang sering kali dilaksanakan mulai habis isya sampai tengah malam saja (20.00-23.00 WIB). Berdasarkan keterangan Kasnam, hal ini untuk mengurangi kebosanan penonton karena pada saat ini penonton cenderung mencari tontonan yang praktis.

2. Dalam pertunjukan tari topeng adanya pemotongan beberapa segmen pertunjukan, seperti penggunaan janturan (perulangan bahasa sinonim) dan ungkapan sastra Jawa kuno yang menunjukkan keindahan bahasa sastra lisan. Ada juga peringkasan onto wacono dalam setiap penggambaran profil suatu kerajaan atau tokoh yang sedang ditampilkan. Selain itu ada juga penambahan segmen pertunjukan di depan penonton, seperti penampilan ritual sesajen dan pengucapan mantra yang sebelumnya hanya dilakukan di balik bilik panggung. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan daya tarik baru bagi penonton

3. Perubahan tingkat agresifitas atau aspek psikologis lainnya dalam proses pertunjukan. Hal ini dimaksudkan untuk menyesuaikan unsur artistik penampilan dengan norma yang berlaku saat itu. Seperti halnya dalam beberapa lakon pada waktu dulu endingnya terjadi pembunuhan pada tokoh negeri Sabrang (Bolo Kiwo) dan menjadi pihak yang kalah. Namun akhir-akhir ini penampilan yang menunjukkan penundukan pihak tokoh negeri Sabrang sering kali dengan pengusiran kembali serangan oleh Golongan satria/Panji (Bolo tengen).

4. Adanya lakon kreasi modern yang keluar dari pakem cerita topeng. Perubahan itu menyesuaikan dengan tema yang yang diangkat sesuai keinginan penghelat acara sebagai tuan rumah.

5. Adanya formalisasi (pakem) gerakan tari pada tokoh topeng yang dilakukan oleh akademisi kesenian tari. Menurut penuturan Sunari yang dibenarkan juga oleh Handoyo, dahulu sering kali terjadi silang (salah) gerakan antar satu tokoh dengan tokoh lain ketika penari yang tampil memerankan tokoh topeng lebih dari satu karena terlalu banyak tokoh yang dimainkan dan sedikit jumlah penari. Formalisasi gerakan ini cukup membantu penonton dan penari dalam mengidentifikasi tokoh yang sedang ditarikan.

G. Segmentasi Pertunjukan Tari Topeng Malang

clip_image006

Gambar Pertunjukkan Tari Topeng Malang yang Diperankan Satu Orang Penari dengan Beberapa Penonton

1. Gending Giro

Nggiro adalah musik pengiring pementasan yang dimainkan dengan perangkat musik khas Jawa. Biasanya permainan musik ini juga disebut dengan instrumen musik karawitan atau gendingan. Adapun para pemain musik ini lazim disebut panjak atau pengrawit. Waktu permainan musik ini dimulai dari awal pertunjukan akan dimulai sampai pertunjukan tersebut selesai.

Adapun tujuan dimainkannya di awal waktu pertunjukan adalah untuk mencuri perhatian para calon penonton khususnya penduduk di sekitar wilayah Kedungmonggo sehingga para penonton akan mau datang menyaksikan pertunjukan tari topeng yang akan dipentaskan pada malam itu. Harmoni musik yang dimainkan pada awal pertunjukan adalah irama pelog Angleng yang bernuansa kalem dan santai.

Setelah beberapa lama dimainkan dan orang yang telah hadir di sanggar pertunjukan dirasa cukup, maka alunan musik yang awalnya hanya instrumen selanjutnya diiringi oleh penyanyi perempuan yang kerap disebut dengan istilah Sinden. Bahasa yang digunakan dalam nyanyiannya tersebut adalah bahasa Jawa Kawi yang menceritakan sinopsis dari lakon cerita yang akan dimainkan.

Instrumen Giro pun akan senantiasa dimainkan selama proses pertunjukan dilaksanakan selain pada waktu terjadi dialog antar pemain yang dibawakan oleh dalang. Hal ini ditujukan untuk mendramatisir suasana adegan yang tengah dimainkan, seperti pada saat peperangan dan proses pengembaraan tokoh Panji dan Grebeg Sabrang, maka yang dimainkan adalah pelog alas kobong atau kembang kacang yang bernuansa keras. Berbeda dengan irama gending yang dimainkan untuk mengiringi adegan yang romantis, seperti pada adegan pertemuan dewi Ragil Kuning dengan Raden Gunungsari, maka yang dimainkan adalah pelog pisang wono. yang bernuansa sangat kalem. Fenomena ini sama halnya dengan berbagai macam seni pertunjukan lainnya yang juga menggunakan instrumen musik, baik tradisional maupun modern. Namun adakalanya juga musik yang dimainkan adalah musik Jawa modern (campursari) menyesuaikan dengan permintaan tokoh Potrojoyo, satu-satunya tokoh yang bisa berkomunikasi langsung dengan penonton dan Panjak. Iring-iringan musik ini akan senantiasa dimainkan sampai pertunjukan tersebut selesai.

2. Salam pembuka dan sinopsis.

Segmentasi selanjutnya adalah pembukaan. Sebelum pertunjukan dimulai, salah seorang dari kru pementasan (biasanya panjak) menghaturkan ucapan salam dan selamat datang kepada para penonton. Pada penyambutan ini sang penyambut juga memberikan sedikit ringkasan lakon (sinopsis) pada para penonton sehingga mempermudah pemahaman isi cerita yang akan dimainkan. Setelah ringkasan tersebut disampaikan maka selanjutnya diteruskan dengan sesajen.

3. Pembacaan Mantra

Tak lama setelah pembacaan sinopsis, dari arah dalam sanggar para penari anak wayang yang dipimpin oleh sang dalang keluar dengan membawa sesajen persembahan. Para pemain tersebut duduk di depan penonton dan mengheningkan cipta sambil mengucapkan mantra yang diyakini untuk menjaga keselamatan penari dan penonton yang hadir. Mantra yang dipanjatkan kepada danyang Kedungmonggo adalah sebagai berikut:

Nini danyang, kaki danyang, danyang sing mbaurekso dusun Kedungmonggo. Tak jaluk gawe siro dino pitu pasaran limo dino senin legi iki siro tak upah-upahi sajen. Opo isine sajen gedang ayu, suruh ayu, pencok bakal badhek sak tetes sego pucet lawuhe iwak endog. Tak tumpangne sungging sedono. Ono kurangane tukuo dewe. Iku ono duwike. Siro gondo, siro roso, siro daharo. Aku njaluk rahayu slamet sak anggotaku wayang topeng kene kabeh.

(Wahai kakek nenekku, roh penunggu yang melindungi dusun Kedungmonggo, pada hari ke tujuh pasaran lima , yaitu hari Senin Legi ini aku memberi sajian padamu sekalian yang berupa satu sisir pisang, daun sirih (yang segar), bumbu dapur, setetes air badhek (sari tape ketan), nasi bucet (tumpeng kecil) dengan lauk telur. Semuanya saya letakkan di atas macam-macam bunga. Kalau sesajennya kurang maka silakan beli sendiri. Di situ sudah ada uangnya. Silakan dirasakan, dibaui dan dimakan. Saya dan anggota saya yaitu orang-orang yang hadir di pertunjukan topeng di sini minta perlindungan kepadamu agar bisa selamat dan sejahtera.

Setelah membaca mantra tersebut, Sang dalang yang mulutnya senantiasa komat-kamit memanjatkan mantra meminta topeng dari para penari untuk diasapi kemenyan. Topeng-topeng tersebut yang nantinya akan dipakai oleh para penari untuk mementaskan lakon yang diangkat dalam pertunjukan.

Pembacaan mantra dalam susunan pertunjukan berfungsi pula untuk menunjukkan pada penonton bahwa kesenian yang akan ditampilkan bukan hanya sekedar tontonan hiburan semata, akan tetapi juga sebuah wujud penghormatan roh penunggu desa. Hal ini bisa dilihat dari sebutan “Nini danyang, kaki danyang”

4. Prosesi pertunjukan tari

Sampailah pada proses pertunjukan yang terpenting. Pada segmentasi ini, tari dimainkan sesuai dengan lakonnya. Pada acara rutin senin legian tema yang dimainkan tidak ditentukan karena pertunjukan ini dilakukan hanya sebagai rutinan saja dan semata-mata untuk menjaga kelestarian kesenian. Namun pada beberapa acara tertentu, pertunjukan tari yang ditampilkan disesuaikan dengan permintaan penghelat acara.

Pada tiap-tiap adegannya, pertunjukan ini dibagi secara runtut yang menjadi pakem pertunjukan. Pendapat ini merupakan hasil penelitian Murgiyanto mengenai segmentasi yang ada dalam proses pertunjukan. Susunan tersebut adalah sebagai berikut :

i. Jejer sepisan : adegan kerajaan Jawa / Panji. Pada adegan ini sebelum para penari berdialog, dalang mengucapkan janturan yang menggambarkan sifat keadilan raja yang memimpin negaranya dengan makmur dan adil. (gending Angleng atau kalem)

ii. Grebeg Jawa : pengembaraan Panji (gending Angleng atau kalem)

iii. Jejer kapindo : adegan di kerajaan Sabrang (gending setro atau agak keras)

iv. Grebeg Sabrang : adegan pengelanaan raja Klono bersama para patih untuk mencari putri yang akan dinikahi atau menaklukkan kerajaan lain. (gending gondo boyo atau keras)

v. Perang grebeg : Pertemuan antar Panji dengan kerajaan Sabrang (gending gondo boyo atau keras)

vi. Jejer katelu : adegan pertapaan / kerajaan lain. (gending Angleng atau kalem)

vii. Potrojoyo-Gunung sari (gending pedhat atau biasa)

viii. Adegan ulangan kerajaan pertama

ix. Jejer kalima : perang besar antar kedua kerajaan (gending gondo boyo atau keras)

5. Penutupan

Setelah pertunjukan selesai, sang dalang menutup kegiatan Senin legian tersebut kemudian anak wayang beserta panjak memakan sesajennya. Hal ini sangat berbeda dengan waktu dulu di mana setelah pertunjukan selesai sesajen dibawa ke punden Belik Kurung .

Pada pertunjukan tari topeng Malang rata-rata penonton yang datang memberikan perhatian yang lebih pada sri panggung . Dahulu pada tahun 1970an, banyak digelar pertunjukan tari topeng pada berbagai perhelatan umum di pendopo kabupaten. Para penonton sering kali mempertanyakan tentang siapa penari yang didapuk sebagai pemainnya. Jika penarinya adalah tokoh idolanya maka para penonton akan menghadiri pementasan itu. Jikalau tidak ada penari idola dalam lakon tersebut maka penonton banyak yang tidak datang. Bahkan tak jarang para penonton datang hanya untuk melihat sri panggung yang dikaguminya. Dan setelah sri panggung tersebut turun panggung maka para penonton meninggalkan area pementasan. Ketertarikan penonton terhadap sri panggung dikarenakan penari tersebut dapat memvisualisasikan karakter yang diperankan, ekspresi gerak cukup mumpuni dan murni (tidak bercampur dengan ciri khas tokoh lain). Selain itu fisik yang dimilikinya cocok dengan karakter yang dimainkan.

H. Visualisasi Figur Fiktif dalam Pertunjukan

clip_image008

Gambar Topeng Panji Asmarabangun

Dalam setiap penampilannya pertunjukan tari Topeng Malang menceritakan tentang petualangan figur Panji. Dalam kesusastraan Jawa kuno Panji merupakan figur tokoh topeng yang cukup terkenal. Mengenai sejarah tokoh Panji dan saudara-saudaranya belum ada yang berani memastikan mulai kapan tokoh ini diperkenalkan karena minimnya dokumentasi sejarah yang menunjukkan angka tahun kemunculan cerita. Namun demikian, menurut Purbatjaraka tokoh ini muncul di saat kekuasaan kerajaan Majapahit. Hal ini dibuktikan dengan banyak ditemukannya cerita rakyat yang memfigurkan ketokohan Panji di setiap daerah yang dahulu merupakan lingkar wilayah Nusantara. Tak hanya di sekitar Indonesia saja tokoh ini dikenal, namun tokoh ini-pun bisa ditemukan di negara Kamboja.

Dari setting penaskahan yang ada Panji diceritakan sebagai putra mahkota dari kerajaan Doho, salah satu dari empat kerajaan besar di tanah Jawa yaitu Kahuripan, Singosari, Urawan, dan Doho sendiri. Keempat kerajaan tersebut bersaudara. Menurut penuturan Sunari, naskah yang diceritakan dalam penampilan tari topeng memiliki unsur pesan yang jika diruntut dari sejarahnya adalah untuk mempersatukan keempat kerajaan tersebut yang mengalami perang saudara di jamannya.

Mengenai alur cerita yang dibawakan Purbatjaraka menyebutkan bahwa naskah Panji merupakan adaptasi dari cerita wayang Purwa sebagai induk penaskahan dari berbagai seni wayang yang ada di Indonesia (Mahabarata dan Ramayana). Asumsi ini muncul karena adanya kesamaan alur cerita antara keberadaan pihak Kiwo-tengen, pensifatan tokoh dan lain-lain. Hal ini diperkuat dengan data peneliti berdasarkan hasil wawancara dengan Sunari dan Kasnam yang membenarkan asumsi tersebut. Namun sampai sekarang belum ada peneliti yang berani memastikan proses pengadaptasian tersebut karena penaskahan cerita secara tertulis dalam pertunjukan tari Topeng Malang belum ditemukan dan adanya berbagai macam versi cerita meskipun dalam lakon yang sama. Ambiguitas keabsahan naskah cerita dikarenakan kesenian ini merupakan salah satu bentuk sastra lisan. Metode penyampaian ceritanyapun dengan berbagai media mulia dari tari, wayang wong, wayang gedog dan lainnya.

Sebagaimana karya seni peran lainnya, dalam kesenian ini terdapat beberapa tokoh yang mewakili karakter baik dan karakter jahat, serta sebagai penengah. Karakterisasi ini merupakan suatu keniscayaan yang tidak bisa dipungkiri dalam tiap-tiap jenis karya seni peran. Pandangan seperti ini menurut Anderson, merupakan stereotype yang bisa ditemui di kehidupan budaya Jawa. Ada semacam dikotomi nyata yang tidak bisa dipisahkan dan menjadi oposisi biner di dalam keyakinan orang Jawa yang itu merupakan satu kesatuan . Tua-muda, Baik-Buruk, Bolo Tengen-Bolo Kiwo yang dalam karya dramatis personae (meminjam istilah Anderson) ini, nuansa tersebut sangat kental terasa.

Adapun penggolongan peran dalam pertunjukan tari topeng adalah sebagai berikut :

i. Ragam Ksatria Jawa (Bolo Tengen) : yaitu para raja pangeran dan pengawal dari kerajaan Jawa (Doho, Singosari, Jenggala Manik atau Kahuripan, Urawan), seperti Panji Asmoro Bangun, Gunung Sari, Panji Walang Sumirang, Panji Laras dan lainnya.

ii. Ragam Raksasa atau Klono (Bolo Kiwo) : Yaitu para pasukan yang berasal dari kerajaan Sabrang, kerajaan luar Jawa. Kerajaan ini dipimpin oleh Klono Sewandono yang selalu berusaha menaklukkan kerajaan lain.

iii. Ragam Dewa, Begawan atau Pertapa. Yaitu para dewa yang mengatur kehidupan manusia di kayangan dan raja yang meninggalkan kehidupan duniawi. Seperti : Begawan Wirosekti, Betara Kala

iv. Ragam penari putri : yaitu putri yang hidup di kerajaan Jawa yang kemudian berjodoh dengan para Panji. Seperti Galuh Candra Kirana, Walang Wati, Sekartaji, Ragil Kuning.

v. Punakawan : dari segi bahasa, Puna berarti orang bijak, dan Kawan berarti teman. Di dalam pementasan, adalah para orang bijak yang mendampingi dan menemani para ksatria dan raksasa Sabrang . Para punakawan tersebut bertugas mengabdikan diri kepada para ksatria yang berwatak pejuang dan mereka selalu menjadi tempat gudang nasihat ketika para ksatria mengalami kesulitan hidup. Punokawan yang ada dalam pementasan tari topeng Malangan adalah Jerodheh (Semar) dan Prasanta (Bagong). Yang lain adalah Potrojoyo (sebagai punokawan Gunungsari), Demang Mones (pengikut para raja Klono yang nasihatnya selalu diabaikan) dan Emban Biyung Dawala (punokawan Dewi Sekartaji)

Hasil observasi yang didapat dari penelitian di lapangan menunjukkan bahwa dalam pertunjukan tari topeng terdapat 140an tokoh, namun dalam tiap-tiap momen pertunjukan yang dijadikan tokoh utama hanya 6 saja. Nama dan karakter tokoh utama yang dimaksud tersebut dijelaskan sebagai berikut:

1. Klono (Sewandono) : golongan raksasa sombong, adigang-adigung , pethakilan , suka berkelahi, agresif, lugas, keras, pemimpin yang tegas. Dalam wayang kulit tokoh ini dianalogikan sebagai Rahwana. Memakai atribut endhong

2. Bapang : sombong, licik, ahli strategi, hipokrit (munafik). Tokoh ini dianalogikan sebagai Dursosono (Kurawa). Memakai atribut endhong

3. Gunung Sari : Golongan Satria, bersifat rendah hati (andhap). Berpengetahuan luas. Lemah lembut, Agak feminin, suka berdandan dan berkelana. Memakai atribut pedangan. Tokoh ini disamakan dengan figur Samba, putra Batara Kresna.

4. Panji (Asmoro Bangun) : Golongan satria. Mata keranjang, suka bertapa, pengabdian ke orang tua besar, digdaya, diam-diam menghanyutkan. Memakai atribut pedangan. Tokoh ini memiliki karakter khas Arjuna dalam cerita wayang purwa.

5. Sekar Taji : Seorang putri kerajaan Kediri. Lemah lembut, rendah hati, feminin, bersikap pasrah. Penggambarannya mirip dengan tokoh Sumbadra.

6. Ragil kuning : Seorang putri. Adik dari Panji. Peran ini digambarkan sebagai sosok pemberani, tegas, dan suka berkata apa adanya. Dalam wayang kulit tokoh ini bisa disamakan dengan tokoh Srikandi.

Jumlah 6 tersebut, difalsafahkan oleh Karimun sebagai nemen diopeni, nemen diudi nemen dilestarekno. Namun menurut Sunari, tokoh utama dalam seni tari topeng berjumlah 7 yang dari 6 tokoh tersebut ditambahi dengan satu tokoh yaitu Potrojoyo. Dia adalah demang (pembantu) dari Gunung Sari yang juga menjadi penjaganya. Tokoh ini digambarkan sebagai tokoh lucu dan cuek. Kadang dalam kelucuannya sering keceplosan dan terlihat sisi sifat bijak yang dimilikinya. Filosofi dari jumlah tujuh adalah merujuk pada tujuh lubang di wajah topeng (2 lubang hidung, 2 lubang telinga, 2 lubang mata dan 1 lubang mulut) yang berarti menahan kejelekan hidup yang disebabkan oleh tujuh lubang tersebut.

I. Topeng Malang dan Aspek Belajar di Dalamnya

1. Penjabaran Hasil Observasi

Sebagai sebuah pertunjukan kesenian bagi masyarakat Tari Topeng Malang memiliki banyak aspek yang bisa dipelajari darinya seperti layaknya seni pertunjukan lainnya. Keberadaan kesenian tari topeng di wilayah Kedungmonggo memungkinkan terjadinya proses pembelajaran penduduk terhadap apa yang ada di dalam tari topeng. Hal ini bisa dilihat contohnya dari beberapa fakta yang didapat dari lapangan yang bisa memperkuat pendapat ini yaitu :

Pada observasi yang dilakukan pada saat pertunjukan berlangsung ditemukan salah seorang anak laki-laki berusia 12an tahun yang menari-nari dengan teman-temannya di dalam sanggar mengikuti alunan musik gending sembari menunggu pertunjukan dimulai. Ketika ditanya tentang tari apa yang dimainkan subyek menjawab bahwa dia meniru tari Bapang yang biasa dia lihat ditarikan oleh kakaknya yang menjadi anggota penari di sanggar Asmoro Bangun ketika latihan.

Masih di waktu yang sama didapati salah satu penonton yang tengah asyik mengangguk-anggukkan kepala menikmati alunan musik gending giro dalam tari topeng. Hal ini menunjukkan adanya peran fungsi indera pendengaran yang menangkap stimulus dari luar diri subyek dan berpengaruh pada perilaku mengangguk-angguk tersebut.

Pada penelitian yang dilakukan pada tanggal 19 Mei 2009 ditemukan aktivitas seorang nenek yang duduk di area sanggar melihat pertunjukan yang tengah berlangsung dengan memangku cucunya. Sesekali nenek tersebut membisiki cucunya tentang bentuk perilaku tokoh topeng yang tengah berlangsung di panggung. Ketika ditanyai tentang nasihat yang telah diberitahukan pada cucunya sang nenek mengaku bahwa dia ingin agar cucunya bisa menirukan perilaku tokoh Panji Asmoro Bangun, dan jangan sampai menirukan perilaku tokoh bapang karena menurutnya tokoh bapang tergolong tokoh yang berperilaku buruk.

Dalam beberapa kasus observasi, pada segmen dialog Potrojoyo-Gunungsari peneliti kerapkali mendapatkan fenomena subyek yang tertawa terbahak-bahak melihat kelucuan Potrojoyo. Pada adegan grebeg Sabrang ditemukan ekspresi rasa takut dari penonton dan menyebabkan penonton tersebut berteriak, utamanya bagi penonton berusia kira-kira di bawah 15 tahun, yang terjadi karena gerak para pemeran tokoh kerajaan Sabrang yang kerap kali bergerak secara tiba-tiba ke arah penonton sampai batas panggung. Hal ini didukung pula dengan kostum yang dipakai tokoh Sabrang yang menurut beberapa subyek menyeramkan.

Dari data yang dihimpun terdapat pula pemberian nama jalan yang diambil dari istilah nama tokoh dalam tari topeng. Seperti pada nama gang sepanjang jalan masuk dari jalan raya desa Karangpandan menuju dusun Kedungmonggo, berjajar nama gang yang sama dengan nama-nama Panji (pangeran) kerajaan Doho. Salah satunya adalah jalan Asmorodono, jalan Asmorobangun dan jalan Asmorodadi. Dari keterangan Dahlan yang menjabat sebagai kamituwo, penamaan ini memang diambil dari nama tokoh-tokoh Panji.

Pada pelabelan nama anggota keluarga dari penduduk di sekitar wilayah Kedungmonggo ditemukan polesan kesadaran penonton yang juga terpatri dengan pemberian embel-embel nama tokoh tari topeng. Misalkan nama Galuh Ajeng yang kata “Galuh” tersebut disinyalir diambil dari nama Galuh Candrakirana, Inu yang diambil dari nama Inu Kertopati dan Panji yang diambil dari nama Panji Asmoro Bangun. Selain dari penduduk sekitar, Sunari, seorang pengamat tari topeng Malang menerangkan bahwasanya nama putra dan putrinya diberi embel-embel nama Panji dan Galuh.

Di setiap judul yang ditampilkan dalam pertunjukan ditemukan tema yang memiliki unsur penyatuan antar dua kerajaan yang tengah mengalami konflik perang saudara. Hal ini menunjukkan adanya semangat pemersatu dalam judul yang tengah dilakonkan. Di lain sisi terdapat pula tema tentang konflik dua kerajaan yang ingin menguasai (perilaku dominan) dan kerajaan yang mempertahankan diri (perilaku defensif) dari serangan kerajaan lain.

Dalam setiap lakon terdapat suatu pesan tidak tertulis yang menyatakan bahwa nilai keburukan nantinya pastinya kalah dengan nilai kebaikan. Salah satu contohnya adalah tentang penggambaran perang yang selalu dimenangkan oleh golongan satria ketika melawan prajurit Sabrang.

Visualisasi wajah pada topeng yang ditampilkan menunjukkan nilai keumuman yang memilah sisi positif-negatif suatu karakter. Misalnya pada tokoh negeri Sabrang yang dominan digambarkan memiliki wajah merah, memiliki taring, mata melotot, beralis dan berkumis tebal, janggut brewok. Tokoh negeri Sabrang selalu diposisikan sebagai pemeran sifat antagonis dalam lakon. Berbeda dengan tokoh kerajaan Jawa. Panji dan para pendampingnya digambarkan dengan wajah yang berwarna cerah (putih dan kuning), dan warna hijau. Mata sempit, kumis berbentuk kucing anjlok (tipis-klimis), jenggot berbentuk udan gerimis (tipis).

Selain dari warna wajah, terdapat pula tanda yang membedakan antara tokoh yang memiliki kedudukan tinggi dan tokoh pembantu. Pada tokoh yang memiliki kedudukan tinggi digambarkan dengan adanya kembangan (ukiran bunga) setiap sisi wajah. Pada tokoh pembantu visualisasi yang ditunjukkan adalah tanpa menggunakan ukiran kembangan.

Pada visualisasi kostum yang dikenakan di atas panggung terdapat perbedaan antara tokoh Panji yang memakai irah-irahan dengan pembantunya demang Potrojoyo yang tidak mengenakan tutup kepala. Pembedaan atribut kostum yang lain adalah tingginya irah-irahan yang dipakai Panji dan hiasan di atasnya yang berbeda dengan irah-irahan yang dipakai oleh para patih.

Tata laku / gerak tokoh dari kerajaan Sabrang bisa dibedakan dengan golongan kerajaan Jawa (ksatria) dan tokoh putri. Jika tokoh kerajaan Sabrang banyak tingkah, gerakan kaku, bersuara keras dan tergesa-gesa. Berbeda dengan tokoh ksatria yang selalu bertindak tenang, suara halus (bahkan ada yang feminin), gerakan halus. Hal ini juga berbeda dengan tokoh putri yang cenderung sangat halus, feminin, tutur kata sangat pelan. Visualisasi gerak di atas bisa menjadi pembeda antar satu karakter dengan yang lain.